Dulu, anak-anak kecil bercita-cita jadi dokter, guru, atau presiden. Tapi zaman berubah, dan rupanya ada juga yang ingin “meniti karier” lewat jalur pintas: jadi koruptor termuda se-Indonesia. Kenalin, Nur Afifah Balqis, usia 24 tahun, wajah menawan, dan pencapaian luar biasa, sudah masuk penjara karena korupsi sebelum sempat bikin KTP elektronik dua kali.
Tak semua wanita muda bisa seperti dia. Luius dari kota Balikpapan, Afifah menembus langit politik sebagai bendahara DPC Partai Demokrat. Tapi jangan salah, ini bukan kisah perempuan tangguh yang menembus dominasi pria. Ini cerita bagaimana rekening pribadi bisa jadi ATM publik demi proyek, suap, dan jalan tol menuju penjara.
Afifah bukan sekadar figuran. Dia pemeran utama kedua setelah sang Ketua DPC Demokrat Balikpapan yang juga Bupati Penajam Paser Utara: Abdul Gafur Mas’ud. Duo maut politik lokal
Uang Rp 5,7 miliar tak jatuh dari langit. la dikumpulkan dari rekanan, kontraktor, dan pihak-pihak yang ingin “izin lancar tanpa hambatan”. Dan entah karena cinta, loyalitas, atau iming-iming saldo fantastis, Afifah menyerahkan ATM-nya untuk digunakan sang bupati layaknya kartu diskon swalayan.
Bukan sekadar kartu ATM, bahkan koper berisi uang Rp 1 miliar pun disiapkan oleh tangan halus sang bendahara. Dan saat mereka keluar dari mall mewah di Jakarta Selatan, jeng jeng jeng bukan kamera infotainment yang menyambut, melainkan tim KPK lengkap dengan rompi oranye edisi terbatas.
Bayangkan, usia 24 tahun: sebagian masih bingung cari kerja, sebagian baru lulus kuliah. Tapi Afifah? Sudah punya pengalaman menjadi bendahara partai, pengelola dana bupati, dan… napi korupsi. Multitalenta.
Netizen menyebutnya “koruptor termuda se-Indonesia”. Sebuah prestasi yang, maaf, tak bisa dibanggakan di buku tahunan atau Instagram. Tapi ya, sebelum ditangkap KPK, feed-nya memang penuh gaya hidup mewah, foto BMW, dan aktivitas partai. Mungkin sejenak ia lupa: KPK bukan cuma mitos, dan rekening pribadi bukan tempat penitipan dosa kolektif
Vonisnya? Empat tahun enam bulan penjara. Plus denda 300 juta rupiah. Murah sih, dibanding duit suap yang masuk, tapi semoga cukup untuk membayar lunas rasa malu, nama keluarga, dan masa depan yang terbakar lebih cepat dari lilin ulang tahunnya yang ke-24.
Indonesia memang tak pernah kehabisan tokoh. Kalau ada award “Koruptor Muda Inspiratif”, mungkin Afifah bisa masuk nominasi. Tapi sayangnya, ini bukan festival film. Ini tragedi demokrasi.
Dan kita, rakyat biasa, hanya bisa ngopi sambil menghela napas:
“Beginikah cara mereka menyayangi negen ini? Dengan ATM, koper, dan tiket satu aran ke Lapas?”
Catatan akhir:
Nur Afifah bukan satu-satunya. Tapi dia jadi simbol betapa muda, cantik, pintar, dan aktif di medsos saja tidak cukup kalau etika dibiarkan mati, dan kekuasaan jadi mainan cinta-cintaan dan transaksi diam-diam.
Semoga kalian yang membaca ini tidak tergoda jadi “influencer politik” yang ujung-ujungnya influencer rompi oranye. Karena percayalah, feed Instagram tidak bisa menyensor rasa malu saat kamera KPK menyorot.
